Pagi ini, karena sesuatu dan lain hal, saya berangkat ke kantor di daerah Tebet dari rumah saya di Cibinong. Silahkan buka google map kalo pengen tau seberapa jauhnya dari Cibinong ke Tebet. Saya berangkat sekitar jam 05.15 dengan menggunakan sepeda motor saya. Hal ini bukan pertama kali, tapi ga sering juga, karena sekarang ini saya ngekos di daerah Tebet juga yang hanya 10 menit dari kantor dengan jalan kaki. Di kesempatan kesekian kalinya ini saya awalnya berharap akan lebih terbiasa dengan hal yang akan saya hadapi nanti di perjalanan. Berhasil? Sepertinya belum. Untuk kesekian kalinya saya terjebak macet selama sekitar 1,5 jam dan penuh dengan rasa frustasi dan dosa karena mengumpat sana sini. Setengah jam pertama dengan suasana lengang dan nyaman sampai di daerah Depok, ga berarti lagi setelah 1,5 jam selanjutnya terjebak macet.
Saya heran, begitu banyak orang di luar Jakarta yang bekerja di Jakarta mengalami hal seperti ini tapi seolah biasa saja. Ya mungkin ada yang mudah stress seperti saya, tapi saya yakin masih banyak lagi yang tahan dengan hal itu. Karena kalo engga, mana mungkin macet seperti itu semakin menjadi-jadi tiap harinya. Mungkin mereka sudah mati rasa dengan yang namanya stress karena sudah terbiasa. Apa saya bisa? Mungkin saat ini saya bisa, karena saya tinggal dekat kantor. Sempat saya lupa kalo tinggal di Jakarta karena setiap hari hanya aktivitas di kantor dan kosan. Tapi nanti ketika berkeluarga? Apa saya masih tetap tinggal di daerah dekat kantor? Selain belum tahu istri bekerja di mana nanti, harga rumah dan tanah pasti sudah akan menggila di sini. Masih mampu kah?
Kenapa bisa macet? Ga ada transportasi publik yang memadai, terlalu banyak kendaraan pribadi, kurangnya infrastruktur jalan raya, itu semua sudah dituding berkali-kali sebagai penyebabnya. Memang benar, tapi itu masalah yang terjadi pada “alat”-nya. Sedangkan penyebab utamanya seringkali kita lupa. Kenapa macet? Karena jutaan orang yang menuju Jakarta ketika pagi hari dan meninggalkan Jakarta pada sore hari secara bersamaan. Kenapa bisa begitu? Karena lapangan pekerjaan terpusat di Jakarta dan banyak orang yang tinggal di pinggiran Jakarta. Kenapa banyak yang tinggal di pinggiran Jakarta? Karena harga rumah dan tanah relatif murah ketimbang di pusat Jakarta yang lahannya juga makin menyempit. Juga karena jaraknya yang relatif dekat. Iya dekat bukan cepat. Jarak boleh dekat tapi macet siap menghambat.
Kenapa juga lapangan pekerjaan terpusat di Jakarta? Hanya karena ibukota kah? Di daerah lain ga ada lapangan pekerjaan kah sampai orang-orang rela pindah dari desa ke Jakarta? Mungkin karena pendidikan? Takut anaknya ga terdidik dengan baik jadi lebih memilih hidup di kota besar seperti Jakarta. Mungkin iya, tapi takut ga sih anaknya malah kedidik ga bener sama lingkungan Jakarta yang makin gila? Temen seangkatan saya di Teknik Mesin ITB banyak juga kok yang dari luar Pulau Jawa atau kota-kota kecil. Atau Mungkin karena sarana hiburan dan lengkapanya fasilitas? Bisa jadi. Siapa yang ga pengen bisa gampang beli ini itu, makan ini itu, nonton ini itu? Mana bisa kalo kita hidupnya di daerah Ternate?
Temen saya tadi di kantor bilang, “Ah lu ngapain mau pindah ke luar Jakarta? Banyak orang yang kerja di Kalimantan aja kalo udah tua pengennya kerja di Jakarta”. Itu tanggapannya setelah saya bilang mungkin suatu saat saya akan pindah kerja di luar Jawa, di Balikpapan mungkin. Hanya saya sajakah yang berpikiran seperti ini? Atau saya terlalu aneh? Ya, mungkin sepertinya suatu saat saya akan pindah dari kota ini, mungkin pensiun di kota kecil yang nyaman dan tenang. Entahlah. Mungkin saya akan hanya jadi sarjana ITB yang menambah sesak kota Jakarta bukannya yang bisa memeratakan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas hidup lainnya di kota kota lain di seluruh penjuru Indonesia. Semoga tidak. Aamiin!