ta·mak a selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri; loba; serakah: ia — akan harta;
ke·ta·mak·an n hal tamak; keinginan untuk selalu memperoleh (harta dsb) sebanyak-banyaknya: dia berlaku curang krn ~ nya (sumber: http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php)
Tamak seperti yang dijelaskan pada kamus besar bahasa indonesia di atas, memiliki penekanan dalam hal harta. Setujukah Anda? Saya Tidak. Mengapa? Karena menurut saya tamak itu mencakup segala aspek. Contoh sederhana saja, kita sepakat kalau bermain catur itu bukan menyangkut harta, melainkan sebentuk hiburan jiwa? Oke, jika Anda sepakat, maka ketika Anda sedang bermain catur dengan teman Anda dan Anda berada di posisi akan kalah, lalu niat buruk Anda membisikkan untuk bermain curang bagaimanapun caranya dan akhirnya Anda pun melakukannya, apakah itu tidak bisa dibilang Tamak? Atau sekalipun Anda tidak berlaku curang dan akhirnya kalah, lalu Anda merasa tidak terima atas kekalahan Anda, itu pun bisa dibilang Tamak. Mengapa? Karena jauh di dalam hati Anda, tujuan Anda bermain sebenarnya adalah untuk menang, Anda ingin “beroleh banyak (menang) untuk diri sendiri” bukan sebatas hiburan jiwa. Dan kata terakhir, yaitu “diri sendiri” merupakan kata kunci pamungkas yang menasbihkan Anda adalah seorang yang Tamak.
Apakah Anda sekarang sudah merasa Tamak? haha.. Tenang. Anda tidak sendiri. Masih banyak orang (sengaja saya tidak memilih kata “manusia”) yang juga Tamak. Mungkin saya, teman sebelah Anda, atau justru semua orang di dunia ini sekarang sedang “bercinta” dengan yang namanya Tamak. Belum puas dengan contoh di atas? Oke, akan saya paparkan contoh yang agak kontroversial. Sebelumnya saya ingin bertanya, apa tujuan Anda beragama? Apa tujuan Anda beribadah? Pahala? Surga? Atau karena takut masuk neraka? (saya yakin lebih banyak manusia yang takut masuk neraka dibanding ingin masuk surga). Jika Anda menjawab hal-hal tersebut, maka selamat Anda adalah orang yang Tamak. Ya! Anda Tamak! Hey, masih adakah orang yang tulus beragama karena ingin mengenal Tuhan-nya dan mendapatkan kedamaian jiwa? Masih adakah orang yang ikhlas beribadah semata-mata karena rasa syukurnya atas nikmat yang telah diberikan-Nya? Atau semua itu hanya karena pengaruh dua tempat yang saling berlawanan, surga dan neraka? “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya? (Chrisye)”.
Oke, kita tinggalkan pertanyaan tersebut, biar hati Anda sendiri yang menjawab. Selanjutnya contoh yang mungkin cocok dengan arti dari kamus kbbi tadi. Pernah tahu prinsip ekonomi yang pertama kali diajarkan di SMP, “Dengan usaha yang sekecil-kecilnya, memperoleh untung yang sebesar-besarnya”? Haha, ternyata memnag kita dididik untuk Tamak bung! Logis saja, yang dimaksud buku ekonomi itu uang kan? Atau setidaknya harta benda yang jumlahnya terbatas. Jika satu orang berprinsip seperti itu dan dia berhasil melakukannya, maka akan ada minimal satu oran lain yang merasakan kebalikannya “Sudah usaha sebesar-besarnya, ternyata hanya dapat untung yang sekecil-kecilnya”. Maka, kemiskinan tidak akan pernah hilang dari muka bumi selama masih ada si kaya.
Loh, itu tandanya dia kurang usaha dong? Mungkin, kemampuannya kurang. Atau, memang takdirnya saja dia tidak beruntung. Ya ya, alasan-alasan tersebut memang masuk akal, tapi saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa penyebab kesenjangan paling besar adalah prinsip ekonomi eh prinsip ketamakan itu tadi yang telah mengakar dan berbuah manis di setiap hati orang-orang yang memiliki kemampuan dan keberuntungan lebih. Individualis! Ya individualis! Kaum-kaum tersebutlah hasil cetakan pendidikan modern yang “berhasil”. Lalu, kaum sisanya berarti bukan orang yang tamak? Haha, belum tentu. Selain sudah saya bilang ketamakan itu dilihat dari segala aspek dan bukan dari harta saja, tapi juga masih sangat besar kemungkinan jika mereka diberikan kemampuan dan keberuntungan yang sama akan menjadi prajurit-prajurit ketamakan yang lebih hebat.
Ah, sudah cukup bicara harta. Mari kita bicara cinta :). Dalam cinta juga ada ketamakan? Jelas! Ketika cinta itu Anda paksakan demi nafsu Anda sendiri. Demi keinginan Anda memiliki orang yang Anda cintai, memiliki perhatiannya, memiliki cintanya, memiliki senyumnya dan lainnya. Saat Anda mencintai seseorang pernahkah Anda sedikit berpikir kalau justru orang yang Anda cintai akan lebih bahagia tanpa perlu Anda miliki? Anda menangis saat Anda kehilangan orang yang Anda cintai karena berselingkuh dengan orang lain? Atau Anda merasa iri dengan adik Anda karena orang yang Anda cintai, ibu Anda, lebih perhatian kepadanya? Tanyakan pada hati Anda, apakah Tamak bahkan telah menjajah hal yang bisa membahagiakan Anda (seharusnya)?
Haha, bicara seperti ini, mungkin membuat Anda mengira saya sok suci dari yang namanya Tamak? Tidak! Tamak pun telah menjadi teman di keseharian saya. Karena saya sama seperti Anda, sama seperti orang-orang di dunia ini, adalah produk pendidikan ketamakan yang sama sekali telah samar dan lumrah. Lalu, apakah manusia (akhirnya saya menggunakan kata “manusia”) itu memang tamak? Tidak! Manusia tidak tamak! Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sempurna dan lebih dari makhluk ciptaan-Nya yang lain. Tamak itu milik binatang! Ya binatang! Jadi saya lebih suka menyebut diri saya, Anda, dan lainnya dengan kata “orang” bukan “manusia”. Tersinggung? Tidak Terima? Sudahlah, terima saja, Anda itu bukan manusia, kecuali Anda bukan termasuk subjek di contoh-contoh saya tadi. Lalu? Saya hanya bisa menyarankan, belajarlah menjadi manusia. Manusia yang sebenarnya manusia. Manusia yang menggunakan akal dan hatinya sebagai kelebihannya bukan untuk TAMAK, tapi untuk meningkatkan derajatnya di hadapan Tuhan dan untuk memunculkan solusi-solusi baik bagi makhluk hidup di sekitar Anda. Belajar! Karena belajar itu hanya milik manusia.
“Ya Allah, bebaskan saya dari ketamakan dalam mengerjakan TA saya kali ini, agar tujuannya bukan sekedar syarat kelulusan dan nilai, tapi sebagai sumbangsih saya yang bermanfaat dalam sejarah awal perancangan lokomotif Indonesia yang akan terus berkembang di masa mendatang. Amin” Semoga doa ini dituliskan juga bebas dari rasa tamak, hahaha…
(Bersambung di tulisan selanjutnya “Pendidikan: Belajar Menjadi Manusia”, untuk memperingati Hari Pendidikan)
Ditulis juga di http://www.muhamadfarisnaufalausten.tumblr.com